Rumah Impian Untuk Malaikat Duniaku
“Everytime you feel like you cannot go on
You feel so lost
That your so alone
All you is see is night
And darkness all around
You feel so helpless
You can`t see which way to go
Don`t despair and never loose hope
Cause Allah is always by your side”
Mengalun begitu merdu dan berhasil mengalihkan isi otakku. Meskipun sebetulnya sengaja aku setel lagu-lagu Maher Zain karena penyanyi ini adalah salah satu seniman favorit. Namun, entah kenapa saat lagunya berjudul Insyaallah ini kudengar, lirik dan iramanya seketika mengingatkan pada lembaran yang telah usang.
Lapisan pedih yang lama bersembunyi dalam palung hati terdalam sepertinya menjadi pesaing tebalnya lapisan langit dan bumi. Ingin air mata langsung menerjang kelopak mata, namun apalah daya, kelenjar air mataku sepertinya suda lelah menyekresikannya. Ditambah situasi yang seolah menahan untuk tidak menampakan kesedihan dalam bentuk apapun. Ini tempat kerja, bukan ruang hampa yang selalu menjadi persembunyian.
“Bu, semalam bergadang lagi?” Tanya rekan guru yang duduk disampingku. Guru muda yang cantik, pinta lagi baik hati. Mungkin karena faktor beliau fres graduate, sama sepertiku.
“Enggak kok, Bu Wid. Semalam aku malah tidur lebih awal dari biasanya.” Aku coba jawab sejujur-jujurnya plus pasang wajah yang so ceria kemudian langsung meraih gawai yang sejak tadi sudah hampir habis satu album Maher Zain dilantunkan.
“Bagaimana perangkat pembelajaran sudah selesai?” Pertanyaan lain terlontar dari guru cerewet namun lagi-lagi kebaikannya selalu terpancar.
Kami dipertemukan sejak tahun 2010 di sebuah lembaga pendidikan swasta, kami sama-sama mengajar anak usia menengah atas. Aku mengajar mapel Biologi dan beliau Matematika. Meskipun tidak saling mengenal sejak dari masa sekolah ataupun kuliah, kami langsung satu kemistri, kemungkinan besar kami memang satu frekuensi. Terlebih kami berdua sama-sama anak rantau.
Aku memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman karena menaruh harapan besar dalam diri untuk bisa mengangkat derajat keluarga. Dimulai dengan mengambil kuliah di universitas pendidikan Indonesia. Sesuai dengan disiplin ilmu yang aku senangi sejak dari SMP, kuliah pun aku ambil pendidikan Biologi.
Kedua orangtua bukanlah sosok yang berpendidikan tinggi, bahkan SD pun beliau berdua tidak pernah lulus. Ya,umi dan Bapak tidak punya satupun ijazah dari pendidikan formal. Umi, beliau hanya bersekolah sampai kelas empat SD, sedangkan Bapak hanya sampai kelas dua. Itu pun dengan jerih payah yang sangat luar karena tuntutan dari orang tua zaman dahulu yang mengedepankan prinsip ana laki-laki itu yah penting harus bisakerja dan menghasilkan uang, agar kelak keluarganya hidup tak kekurangan.
“Baheula Bapak mah hayang mangkat sakola teh kudu susulumputan, Komo lain angkat sakola teu ngaguyang heula Muning, pasti weh di baledog ku batu”.
Penuturan Bapak ketika bercerita masa lalu pada anak-anaknya. Dan potongan cerita ini yang salah satunya selalu aku ingat sampai kapanpun, miris.
Mungkin sebab itulah Bapak dan Umi bersikeras ingin menyekolahkan dan menitipkan anaknya di pesantren. Agar peristiwa kelam yang dialaminya tak akan pernah terulang oleh ana cucunya. Dan hebatnya kedua malaikat duniaku ini, mereka sama-sama paham bahwa pendidikan dan ilmu itu sangat penting diatas segalanya. Sementara hal pekerjaan dan harta itu akan mengimbangi.
“Nu penting mah gaduh elmu, kin oge harta mah nuturkeun.”
Begitu salah satu penggalan petuah yang seringkali disampaikan Umi untuk membakar kembali semangat dikala mulai redup. Contohnya saat sekolah, ranking-ku anjlok. Umi mengingatkan “Kita ini bukan orang yang punya harta, maka harus punya ilmu” begitu kiranya pengingat umi dengan menggunakan bahasa yang beliau biasa gunakan.
***
Baru saja aku menutup telepon dari kepala sekolah, da menaruhnya di atas almari buku samping tempat tidur. Tiba-tiba gawai itu berdering kembali. Dan menampilkan satu kontak yang kunamai “Ummi” langsung ku angkat dan terdengar suara lirih dari tempat yang lumayan yang jauh disana.
“Bungsu, Umi tadi jatuh di jambar Cileubak.” Ternyata suara lirih itu bukan milik umi, tapi kakak perempuanku.
“Ya Allah, umi. Sekarang gimana kondisinya, Teh?”
Gematar, dan rasanya kedua kaki ini tak mengijakkan bumi. Orang yang selalu aku jadikan motivation terbesar dalam hidupku, dalam segala planning yang ingin aku capai, juga yang begitu berharga doa-doa da keberadaannya. Sekarang beliau terbaring air, konon tiga gigi depannya tanggal, akibat terbentur tembok di zaman umum kampungku.
Bagi sebagian warga yang tidak punya toilet pribadi di rumahnya, biasanya akan pergi ke toilet umum kampung, memang airnya sangat jernih, tapi jaraknya lumayan jauh apalagi untuk Umi dan Bapak yang sudah sepuh. Untuk sekedar berjalan dari dapur ke rumah tetangga samping rumah kami saja beliau berdua tak bisa tegak lagi.
Lagi-lagi, aku teringat kembali keinginan da harapan-harapan kedua malaikat duniaku itu. Satu diantaranya adalah membuat rumah yang ada toilet didalamnya, jadi jika ingin berhajat atau sekedar mencuci baju, tidak harus jauh kesungai, menelusuri jalan kecil yang terjal.
“Ih umi mah meuni hoyong da gaduh bumi aku Aya wc-an, sieun geubis, Komo pami nuju leueur mah jalanna.”
“Doakeun Mpit, ya, Mi. Insyaallah kin dipangdamelkeun.”
Kala itu janjiku sering terucap pada Umi ataupun Bapak, sebagai jawaban dari keinginan beliau berdua ketika berulang terlontarkan. Dan tentunya menjadi wishlist dalam buku agendaku, yang nyatanya bukan hal mudah untuk bisa digapai.
***
“Kapan kita diagkat jadi ASN yah? Mungkin kalau kita sudah bukan guru honorer lagi, nominal upah kita pun gak seminimalis sekarang.hhhe”
“Sabarlah, natinjuga kalau udah waktunya pasti bisa kita alami. Yang penting sekarang kita ikhlas aja.” Sunggingan senyum yanga ku lontarkan pada Bu Widi sebetulnya menyembunyikan uneg-uneg luar biasa, dilema dengan nominal tabunganku yang susah sekali mencapai target. Gaji dengan kisaran Rp. 300.000/bulan sangat mungkin sekali mengalami kesulitan untuk mengumpulkan uang hingga jumlah yang lumayan besar untuk membangun sebuah rumah layak huni yang akan ditinggali umi serta Bapak.
“Ikhlas beramal, yah Ceu.” Tambah Bu Widi. Kita berdua memang memiliki satu visi dan misi dalam menjalani profesi sebagai pendidik ini, meskipun kita tetap berlandaskan pada ikhlas dalam menjalani pekerjaan dan tutinas di sekolah, tapi tetap tak bisa dipungkiri, biaya hidup perlu finansial yang memadai, bukan?
Sampai saat ini, salah satu impian terbesarku masih mangkrak. Membangunkan rumah impian untuk kedua malaikat duniaku.
Target sebelum Menikah, salah satunya adalah bisa goal punya rumah.
Seperti yang kutulis dalam deretan planning dan wishlist dalam buku agenda dan catatanku. Dari tahun ke tahun, selama bulan Januari berulang sebanyak sembilan kali sampai tahun ini. Mimpi itu masih belum terealisasi.
“Semoga ada keajaiban” diakhir doa dan harapanku pasti kalimat itu tersemat.